Jumat, 13 Januari 2012

GEJALA KEJIWAAN SEORANG SISWA BELAJAR MATEMATIKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.         1.1 Latar Belakang
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari proses mental dan perilaku pada manusia. Perilaku manusia akan lebih mudah dipahami jika kita juga memahami proses mental yang mendasari perilaku tersebut. Demikian juga kita akan lebih mudah memahami perilaku individu jika kita memahami proses mental yang mendasari perilaku individu tersebut. Mengingat pentingnya pemahaman tentang proses mental tersebut, maka melalui ini akan dijelaskan beberapa akfivitas atau proses mental yang umum terjadi pada manusia, khususnya yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Proses mental juga sering disebut dengan gejala jiwa.
Hampir semua perkembangan berlangsung melalui kegiatan belajar. Dalam perkembangan dan kemajuan suatu bangsa dapat ditentukan oleh proses belajar yang dilakukan oleh penduduknya, terutama proses belajar dalam hal pendidikan. Mengingat sangat pentingnya bagi kehidupan, maka proses belajar harus dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga memperoleh hasil yang diharapkan. Usaha dan keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut dapat berasal dari dalam diri atau dari luar diri maupun lingkungan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami berbagai faktor tersebut selain memahami gejala jiwa dalam proses belajar mengajar. Agar belajar menjadi lebih efektif sehingga hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.

1.2.           1.2 Rumusan Masalah
-        Apakah pengertian belajar itu?
-        Apa saja hakekat siswa belajar Matematika?
-        Apa saja bentuk-bentuk gejala jiwa siswa dalam belajar Matematika?
-        Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam belajar?

1.3.         1.3 Tujuan
-        Mengetahui pengertian belajar.
-        Mengetahui dan memahami hakekat siswa belajar Matematika.
-        Mengetahui dan memahami bentuk-bentuk gejala jiwa siswa dalam belajar Matematika.
-        Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam belajar.
  

BAB II
PEMBAHASAN

1.   1. Pengertian Belajar
Belajar adalah key term , istilah kunci yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan/menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran. Belajar menurut bahasa adalah usaha (berlatih) dan sebagai upaya mendapatkan kepandaian.
Dari beberapa pengertian belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku individu dari hasil pengalaman dan latihan. Perubahan tingkah laku tersebut, baik dalam aspek pengetahuannya (kognitif), keterampilannya (psikomotor), maupun sikapnya (afektif).
Minat belajar adalah sesuatu keinginan atau kemauan yang disertai perhatian dan keaktifan yang disengaja yang akhirnya melahirkan rasa senang dalam perubahan tingkah laku, baik berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan.

1.2 Hakekat siswa belajar Matematika

      Ada 4 hakekat siswa dalam belajar Matematika, yaitu :
a.       Siswa akan belajar secara efektif jika mereka mendapat motivasi.
b.      Siswa akan belajar Matematika secara individual.
c.       Siswa akan belajar Matematika secara kelompok.
d.      Siswa akan belajar Matematika secara kontekstual.

Pembudayaan Matematika di sekolah dapat diawali dengan mendefinisikan Hakekat Matematika Sekolah. Ebbutt, S dan Straker, A., (1995) mendefinisikan Matematika Sekolah sebagai:
(1)   kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan,
(2)   kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi dan penemuan,
(3)   kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu dikomunikasikan,
(4)   kegiatan problem solving adalah bagian dari kegiatan matematika,
(5)   algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika, dan
(6)   interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika.

Interaksi sosial diantara para individu dan guru akan dapat memberikan kegiatan kritisisasi untuk pembetulan konsep-konsep, sehingga individu akan memperoleh perbaikan konsep, sehingga pengetahuan subyektif matematikanya telah sama dengan pengetahuan obyektifnya. Hubungan antara pengetahuan objektif dan pengetahuan subyektif dari matematika, serta langkah-langkah pembudayaan dapat ditunjukkan melalui diagram yang diadaptasi dari Ernest.P (1991) sebagai berikut:

Diagram di atas menunjukkan hubungan antara “objective knowledge of mathematics” dan “subjective knowledge of mathematics” . Melalui “social negotiation processes” maka rekonstruksi pembelajaran matematika dalam pembudayaannya, menunjukkan proses yang sangat jelas bahwa pengetahuan baru tentang matematika “new knowledge” dapat berada pada lingkup sosial atau berada pada lingkup individu. Pengetahuan baru matematika pada lingkup sosial, dengan demikian bersifat obyektif dan pengetahuan baru pada lingkup individu akan bersifat subyektif. Dengan demikian, interaksi sosial dalam pembelajaran matematika menjadi
sangat penting untuk mendekatkan pengetahuan subyektif matematika menuju pengetahuan obyektifnya. Hal demikian dapat dengan mudah dipahami dan diimplementasikan jikalau guru yang bersangkutan juga memahami asumsi-asumsi yang disebut terdahulu.

3.3. Bentuk-bentuk Gejala Jiwa Seorang Siswa dalam Belajar Matematika
a)      Pengamatan
Pengamatan merupakan usaha manusia untuk mengenal dunia nyata, baik mengenai dirinya sendiri maupun dunia sekitar di mana dia berada, dengan cara melihatnya, mendengarnya, membaunya, merabanya atau mengecapnya. Cara-cara mengenal objek tersebut disebut dengan mengamati, sedangkan melihat, mendengar dan seterusnya itu merupakan modalitas pengamatan. Dengan kata lain, modalitas pengamatan dibedakan berdasarkan panca indera yang gunakan untuk mengamati.
Dunia pengamatan biasanya dilukiskan menurut aspek pengaturan tertentu, agar subjek dapat melakukan orientasi secara baik. Aspek pengaturan tersebut adalah:
a.       Pengaturan menurut sudut pandang ruang.
Menurut sudut pandang ini, dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian: atas-bawah, kanan-kiri, jauh-dekat, tinggi-rendah, dan sebagainya. Misalnya : Dimanakah siswa itu belajar Matematika? 
b.      Pengaturan menurut sudut pandang waktu.
Menurut sudut pandang ini, dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian: masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang serta berbagai variasi waktu. Misalnya : Kapankah siswa itu belajar Matematika?
c.       Pengaturan menurut sudut pandang Gestalt.
Menurut sudut pandang ini, dunia pengamatan atau objek yang kita amati memiliki arti jika dipandang sebagai  kesatuan yang utuh. Misalnya : Siswa melihat almari, sebagai suatu bangun ruang balok, bukan sekedar kumpulan bangun datar persegi saja, tetapi juga terdiri dari bangun datar persegi panjang.
d.      Pengaturan menurut sudut pandang arti.
Menurut sudut pandang ini, objek yang kita amati dilukiskan berdasarkan  artinya bagi kita. Jika dilihat secara fisik, kotak kapur dan almari relative sama, karena sama-sama bangun ruang , namun memiliki arti yang berbeda.

b)      Tanggapan
         Menurut Bigot (dalam Suryabrata, 1990), tanggapan didefinisikan sebagai bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan terhadap suatu objek.  Karena itu tanggapan juga sering disebut sebagai bayangan. Dalam proses pengamatan terjadilah gambaran dalam jiwa seseorang. Ternyata gambaran sebagai hasil proses pengamatan tidak langsung hilang setelah pengamatan selesai. Manusia mempunyai kemampuan-kemampuan lain di samping kemampuan untuk mengadakan persepsi, yaitu kemampuan membayangkan atau menanggap kembali hal-hal yang telah diamatinya itu. Kemampuan tersebut juga menunjukkan bahwa gambaran yang terjadi pada saat pengamatan tidak hilang begitu saja, tetapi dapat disimpan dalam jiwa individu tersebut.
           Proses menanggap atau membayangkan kembali merupakan representasi, yaitu membayangkan kembali atau menimbulkan kembali gambaran yang ada pada saat pengamatan. Baik pada pengamatan maupun dalam tanggapan, keduanya dapat membentuk gambaran, tetapi pada umumnya gambaran yang ada pada pengamatan  lebih jelas dan lebih lengkap dibandingkan gambaran pada tanggapan.
           Pada seorang siswa dalam belajar Matematika, saat mengamati almari, dimana terdiri dari 4 bangun datar berupa persegi panjang dan 2 bangun datar berupa persegi. Sehingga membuat tanggapan bahwa bangun yang sisi-sisinya terdiri dari 4 persegi panjang dan 2 persegi merupakan bangun ruang balok, dan ketika menemukan suatu benda lain yang memiliki persyaratan tersebut maka dengan mudah dia menyebut itu balok.

c)      Fantasi
            Fantasi didefinisikan sebagai kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan-bayangan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang sudah ada, dan tanggapan yang baru tersebut tidak harus sama atau sesuai dengan benda-benda yang ada (Suryabrata, 1990; Walgito, 1997).
            Fantasi dapat berlangsung dengan disadari maupun tidak disadari. Secara disadari apabila individu betul-betul menyadari akan fantasinya, sedangkan secara tidak disadari apabila individu tidak secara sadar telah dituntun oleh fantasinya. Fantasi yang disadari sering dibedakan antara fantasi menciptakan dan fantasi yang dipimpin.
            Berdasarkan caranya orang berfantasi, fantasi dibedakan menjadi tiga, yaitu fantasi dengan mengabstraksikan, mendeterminasikan dan mengombinasikan. Fantasi bersifat mengabstraksikan, jika orang berfantasi dengan mengabstraksikan beberapa bagian, sehingga ada bagian-bagian yang dihilangkan. Misalnya bagi anak yang belum pernah melihat menara pissa, maka untuk menjelaskannya dipakai bayangan hasil pengamatan melihat gelas . Dalam berfantasi maka anak tersebut diminta membayangkan gelas dengan penuh lubang dengan posisi miring. Fantasi bersifat mendeterminasikan, jika dalam berfantasi itu sudah ada semacam bayangan tertentu, lalu diisi dengan gambaran lain. Misalnya bayangan atap rumah yang berbentuk segitiga yang diperbesar menghasilkan gambaran tentang pyramid. Fantasi bersifat mengombinasikan jika menggabungkan bagian dari tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain. Misalnya berfantasi tentang kerucut dengan menggabungkan kukusan nasi dengan bola dibawahnya.

d)      Perhatian
  Perhatian didefinisikan sebagai pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek (Walgito, 1997). Jika siswa sedang memperhatikan pelajaran Matematika yang diterangkan guru, berarti seluruh aktivitas siswa dicurahkan atau dikonsentrasikan pada pelajaran tersebut. Dengan demikian, apa yang diperhatikan oleh siswa akan disadari dan betul-betul jelas bagi siswa tersebut. Perhatian dan kesadaran memiliki korelasi yang positif, sehingga perhatian juga mengandung pengertian banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktifitas yang  dilakukan (Suryabrata, 1990).
e)   Ingatan
        Segala macam belajar melibatkan ingatan. Jika individu tidak dapat mengingat apapun mengenai pengalamannya, dia tidak akan dapat belajar apa-apa. Pada umumnya para ahli memandang ingatan sebagai hubungan pengalaman dengan masa lampau (Walgito, 1997). Dengan adanya kemampuan untuk mengingat, manusia mampu untuk menyimpan dan menimbulkan kembali apa yang telah pernah dialaminya. Walaupun begitu, tidak semua yang pernah dialami oleh manusia akan dapat ditimbulkan kembali. Dengan kata lain, kadang-kadang terdapat hal-hal yang tidak dapat diingat kembali.
      
Para ahli membedakan tiga tahapan dalam ingatan, yaitu memasukkan pesan dalam ingatan (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat kembali (retrieval) (Atkinson, dkk,1997). Karena itu, maka biasanya ingatan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasukkan, menyimpan dan mengingat kembali pesan-pesan.


      Dalam penyusunan kode, siswa memasukkan konsep mengenai phytagoras dalam ingatan setelah melalui pengamatan. Melalui tahapan penyimpanan, siswa akan mempertahankan dan menyimpan konsep dalam ingatan selama beberapa waktu sampai saatnya ditimbulkan kembali. Tahapan mengingat kembali, siswa menimbulkan kembali apa yang diingat tanpa adanya stimulus, sedangkan pada mengenal siswa menimbulkan kembali apa yang diingat dengan kehadiran objeknya berupa segitiga.
f)       Berpikir
      Keberhasilan terbesar dari spesies manusia adalah kemampuannya untuk mempunyai pemikiran yang kompleks. Berpikir meliputi sejumlah besar kegiatan mental. Seorang siswa berpikir ketika sedang menulis jawaban soal di papan tulis terkait konsep phytagoras, ketika sedang cemas memikirkan soal ujian matematika yang akan dihadapi.
g)      Inteligensi
Inteligensi merupakan masalah yang banyak dibahas orang sejak lama. Walaupun ada pergeseran pandangan dalam masalah ini, tetapi pada umumnya orang berpendapat bahwa inteligensi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan belajar seseorang.
   Inteligensi juga sering disebut dengan kecerdasan. Istilah inteligensi berasal dari kata latin “intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Definisi inteligensi sendiri  cukup beragam. Salah satu definisi dinyatakan oleh Stern yang menyebutkan bahwa inteligensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya (Walgito, 1997). Sementara itu GD Stoddard (dalam Crow & Crow, 1984) menyatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan yang mengendalikan aktifitas-aktifitas  dengan ciri-ciri sukar, kompleks, abstrak, tepat, bertujuan, bernilai sosial dan menampakkan adanya keaslian, serta kemampuan untuk mempertahankan kegiatan-kegiatan seperti itu dalam kondisi yang memerlukan energi dan berlawanan dengan kekuatan-kekuatan emosional. Sedangkan Terman (dalam Walgito, 1997) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan berpikir abstrak.
Inteligensi seorang siswa dalam belajar matematika nampak saat mereka mampu menunjukkan dan melakukan suatu hal yang tepat, misal dalam menyelesaikan soal matematika mencari keliling segitiga. Ia harus tahu tentang alas dan tinggi terlebih dahulu, lalu mencari sisi miring dari segitiga tersebut, baru mulai menghitung kelilingnya dengan menjumlahkan semua sisinya.

4.   4. Faktor – faktor yang mempengaruhi belajar
Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar individu dapat dibedakan  
menjadi tiga macam, yakni:
1. Faktor internal (faktor dari dalam individu), yaitu keadaan/ kondisi jasmani dan rohani individu.
2. Faktor eksternal (faktor dari luar individu), yaitu kondisi lingkungan di sekitar individu.
3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar individu yang meliputi strategi dan metode yang digunakan individu untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.

Faktor-faktor diatas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang individu yang besikap conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal) umpamanya, biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang individu yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi, karena pengaruh faktor-faktor tersebut diatas, muncul individu-individu yang high-achievers (berprestasi tinggi) dan under-achievers (prestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan professional diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok individu yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.

1. Faktor Internal Individu
Faktor yang berasal dari dalam diri individu sendiri meliputi dua aspek, yaitu:
a). Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi semangat dan intensitas individu dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, individu sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, individu juga dianjurkan memilih pola istirahat dan olahraga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting sebab kesalahan pola makan-minum dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental individu itu sendiri.
Kondisi organ-organ khusus individu, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dalam penglihatan individu yang rendah, umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyarap item-item informasi yang bersifat yang bersifat echoic dan iconic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh system memori tersebut.

b. Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran individu. Namun, di antara faktor-faktor rohaniah individu yang pada imumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut:
1). Tingkat Kecerdasan/ Intelegensi Individu,
2). Sikap Individu,
3). Bakat Individu,
4). Minat Individu dan Motivasi Individu
Dalam prespektif psikologi kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi individu adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan juga member pengaruh kuat dan relativ lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orang tua dan guru.

2. Faktor Eksternal Individu
Seperti faktor internal individu, faktor eksternal individu juga terdiri atas dua macam, yaitu:
a. Lingkungan Sosial
Lingkungan social sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semanagt belajar seorang individu. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan prilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri telladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan rajin berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar individu.
Metode dan gaya mengajar guru juga memberi pengaruh terhadap minat individu dalam belajar Matematika. Oleh karena itu, hendaknya guru dapat menggunakan metode dan gaya mengajar yang dapat menumbuhkan ,inat dan perhatian individu. dominikus Catur Raharja menyatakan :
guru adalah creator proses belajar mengajar. Guru adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi individu untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten.
Cara penyampaian pelajaran yang kurang menarik menjadikan individu kurang berminat dan kurang bersemangat untuk mengikutinya. Namun sebaliknya, jika pelajaran disampaikan dengan cara dan gaya yang menarik perhatian, maka akan menjadikan individu tertarik dan bersemangat untuk selalu mengikutinya dan kemudian mendorongnya untuk terus mempelajarinya. Cara seorang guru dalam menyampaikan pelajaran sangat terkait dengan tipe atau karakter kepribadiannya, seperti yang dikemuakan Muhibin Syah, sebagai berikut:
1)      Guru yang otoriter (autoriterian)
Secara harfiah, otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Dalam PBM, guru yang otoriter mengarahkan dengan keras segala aktivitas para individu tanpa dapat ditawar-tawar. Hanya sedikti sekali kesempatan yang diberikan kepada individu untuk berperan serta memutuskan cara terbaik untuk kepentingan belajar mereka, sehingga antara guru dan murid tidak terdapat hubungan yang akrab.
2)      Guru Laissez-Faire (Lezeifee)
Padanannya adalah individualisme (paham yang menghendaki kebebasan pribadi). Guru yang berwatak ini biasanya gemar mengubah arah dan cara pengelolaan Proses Belajar Mengajar secara seenaknya, sehingga menyulitkan individu dalam mempersiapkan diri. Sebenarnya guru tersebut tidak menyenangi profesinya sebagai tenaga pendidik meskipun ia memiliki kemampuan yang memadai.
3)       Guru yang demokratis (Democratie)
Arti demokratis adalah bersifat demokratis yang pada intinya mengandung makna memperhatikan persamaan hak dan kewajiban semua orang. Guru yang memiliki sifat ini pada umumnya dipandang sebagai guru yang paling baik dan ideal. Alasannya, dibanding dengan guru yang lainnya guru tipe demokratis lebih suka bekerjasama dengan rekan-rekan seprofesinya, namun tetap menyelesaikan tugasnya secara mandiri. Ditinjau dari sudut hasil pengajaran, guru yang demokratis dengan yang otoriter tidak jauh berbeda. Akan tetapi dari sudut moral, guru yang demokratis dan karenanya ia lebih disenangi oleh rekan-rekan sejawatnya maupun oleh para individunya sendiri.
4)       Guru yang otoritatif (Authoritative)
Otoritatif berarti berwibawa karena adanya kewenangan baik berdasarkan kemampuan maupun kekuasaan yang diberikan. Guru yang otoritatif adalah guru yang memiliki dasar-dasar pengetahuan baik pengetahuan bidang studifaknya maupun pengetahuan umum. Guru seperti ini biasanyaditandai oleh kemampuan memerintah secara efektif kepadapara individu dan kesenangan mengajak kerja sama kepada paraindividu bila diperlukan dalam mengikhtiarkan cara terbaikuntuk penyelenggaraan PBM. Dalam hal ini, guru ini hampirsama dengan guru yang demokratis. Namun, dalam halmemerintah atau memberi anjuran, guru yang otoritatif padaumumnya lebih efektif, karena lebih disegani oleh para individu dan dipandang sebagai pemegang otoritas ilmu pengetahuanpaknya..

- Tersedianya fasilitas dan alat penunjang pelajaran Matematika
Fasilitas dan alat dalam belajar memiliki peran penting dalam memotivasi minat siswa pada suatu pelajaran. Tersedianya fasilitas dan alat yang memadai dapat memancing minat siswa pada mata pelajaran Matematika.
Fasilitas dan alat penunjang pelajaran Matematika yang dimaksud di sini bisa berupa :
• Alat dan fasilitas yang digunakan bersama-sama dengan murid.
  Sebagai contoh, papan tulis, kapur tulis/spidol, ruangan kelas dan sebagainya.
• Alat yang dimiliki oleh masing-masing murid dan guru.
  Misalnya : alat tulis, buku pelajaran Matematika, buku pengangan guru dan lain   
                  sebagainya.
• Alat peraga yang berfungsi untuk memperjelas atau memberi gambaran yang  
  lebih jelas tentang hal-hal yang diajarkan.

Sedangkan faktor kondisi lingkungan sosial dapat berupa manusia atau hal-hal lainnya. Misalnya individu yang sedang belajar memecahkan soal Matematika yang rumit dan membutuhkan konsentrasi tinggi, akan terganggu apabila ada individu lain yang mondar-mandir di dekatnya atau bercakap-cakap keras di dekatnya.
Selanjutnya, yang termasuk lingkungan social individu adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan individu tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh (slum area) yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur, misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar individu. Paling tidak, individu tersebut akan menelukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.
Lingkungan social yang lebih banyak yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga individu itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik pengolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh individu. Contoh: kebiasaan yang diterapkan orang tua individu dalam mengelola keluarga (family management practices) yang keliru, seperti kelalaian orang tuadalam memonitor kegiatan anak, dapat menimbulkan dampak lebih buruk lagi. Dalam hal ini, bukan saja anka tidak mau belajar melainkan juga ia cenderung berperilaku menyimpang yang berat seperti antisocial (Patterson & Loeber, 1984).
b. Lingkungan Nonsosial
Situasi dan kondisi lingkungan turut memberi pengaruh terhadap minat belajar individu dalam pelajaran. Faktor situasi dan kondisi lingkungan yang dimaksud di sini adalah faktor situasi dan kondisi saat individu melakukan aktivitas belajar Matematika di sekolah, baik fisik ataupun sosial. Faktor kondisi lingkungan fisik termasuk di dalamnya adalah seperti keadaan suhu, kelembaban, kepengapan udara, pencahayaan dan sebagainya. Belajar Matematika pada keadaan udara yang segar, akan lebih baik hasilnya dari pada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap, atau belajar pagi hari akan lebih baik dari pada belajar siang hari. Jadi, minat dan perhatian individu akan lebih baik jika jam pelajaran Matematika di letakkan di pagi hari.
Di samping itu, pengaturan cahaya yang kurang baik dapat mengganggu proses pembelajaran Matematika di dalam kelas. Karena cara mengajar dan sistem pengajaran pada umumnya sangat banyak menggunakan penglihatan dan pendengaran.


3. Faktor Pendekatan Belajar
Pendekatan belajar, dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan individu dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau tujuan belajar tertentu (Lawson,1991).
Di samping faktor-faktor internal dan eksternal individu sebagaimana yang telah dipaparkan di mika, faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar individu tersebut. Seorang individu yang terbiasa mengaplikasikan pendekatan belajar deep misalnya, mungkin sekali berpeluang untuk emraih prestasi belajar yang bermutu daripada individu yang mengguanakan pendekatan belajar surface.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor strategi. Faktor internal yang berhubungan dengan diri individu itu sendiri, faktor eksternal yang berhubungan dengan luar diri individu tersebut, serta faktor strategi yang merupakan cara yang digunakan dalam mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi individu dalam belajar sehingga individu tersebut dapat berhasil menyelesaikannya. Serta mengetahui apa saja hakekat siswa belajar matematika, dan bentuk-bentuk gejala jiwa belajar Matematika.
Dengan mengetahui faktor – faktor dan strategi yang mempengaruhi belajar,hakekat siswa dalam belajar matematika, dan bentuk-bentuk gejala jiwa siswa belajar Matematika maka kita dapat menyelesaikan masalah yang menghambat proses belajar. Sehingga belajar menjadi lebih efektif dan efisien, dan memperoleh hasil yang memuaskan.

SARAN

            Demi mencetak para penerus bangsa yang bermutu dan mampu bersaing dengan dunia luar, aspek-aspek seperti faktor-faktor yang mempengaruhi siswa dalam belajar perlu diaplikasikan dan butuh dukungan berbagai pihak untuk mendukungnya.

DAFTAR PUSTAKA
Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

0 komentar:

Posting Komentar